Monday, July 29, 2013

Mengapa Muslim Perlu Memilih Profesi Dokter? #Part 1

.com/blogger_img_proxy/

Hmm, buat MABA (mahasiswa baru) yang sudah difiksasi sebagai mahasiswa kedokteran (selamat yaaa :D impian dan usaha keras kalian akhirnya terwujudkan :D) dan berstatus muslim, hal yang perlu saya pertanyakan pertama kali adalah: 'Mengapa kalian ingin menjadi dokter?'. Pertanyaan yang sama diajukan ke saya ketika dulu menjadi maba kedokteran. Mungkin artikel ini bisa menguatkan kembali langkah saya dan membantu kalian membuka pikiran bahwa kita tidak seharusnya hanya menjadi simple doctor yang sekadar mengobati dengan obat. Ok..??

Dahulu, Islam sempat mengenyam masa keemasan di bidang kedokteran. Sudah kenal kan nama-nama dokter muslim zaman dulu? Yups, ada Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Ar-Razi, dll nya. (Coba ditilik ya sejarah mereka ^^). Nah, setelah itu, ilmu kedokteran Muslim mengalami kemunduran karena ternyata banyak ummat Islam yang lebih memilih untuk mempelajari ilmu syari'ah dan meninggalkan ilmu kedokteran. Akhirnya jadilah buku-buku kedokteran Muslim diterjemahkan oleh dunia barat dan mereka mulai mempelajarinya dari sana. Ujung-ujungnya mereka mengecap bahwa Ilmu Kedokteran yang berasal dari mereka, adalah ilmu kedokteran modern yang sesungguhnya. Kalian tahu bukan, padahal Ibnu Sina lah yang memiliki gelar sebagai 'Bapak Ilmu Kedokteran Modern'. Miris bukan?

Bahkan orang-orang barat seolah ingin menyamarkan hal tersebut dengan memberi nama-nama ilmuwan muslim tersebut dengan bahasa mereka. Contohnya saja Ibnu Sina, mereka namai dengan Avicenna, Ar-Razi dengan nama Razees, dll.

Ada ungkapan Imam Syafi'i yang menggambarkan fenomena ini: "Aku tidak mendapati suatu ilmu yang lebih mulia setelah ilmu tentang halal dan haram dari Ilmu Kedokteran. Hanya saja, orang Nasrani lebih menguasai ilmu tersebut dibanding ummat islam."

Imam Harmalah menanggapi kata-kata Imam Syafi'i tersebut: "Sesungguhnya Imam Syafi'i meratapi kondisi umat yang kurang memperhatikan ilmu kedokteran. Ia berkata, 'Sesungguhnya umat Islam telah menyia-nyiakan sepertiga ilmu dan memberikannya kepada orang2 Yahudi.' Imam Syafi'i mengabadikan realitas yang terjadi pada zamannya. Pertanyaannya kemudian, apakah kita yang hidup di abad ilmu pengetahuan dan teknologi ini akan menyia-nyiakan kesempatan (ilmu) tersebut?"

Kalian tahu bukan apa hukumnya menuntut ilmu kedokteran? Ya, fardhu kifayah. Diwajibkan. Tapi ketika sebagian yang lain sudah melakukannya maka gugur kewajiban bagi yang lainnya. Tapi fardhu kifayah ini terkait juga dengan konteks zaman (waktu) dan tempat. Jika di saat itu tidak ada seorang pun muslim yang berprofesi sebagai dokter, maka hukumnya naik tingkat menjadi wajib untuk menuntut ilmu kedokteran. Juga terkait tempat. Misalnya di daerah A tidak terdapat dokter, maka muslim yang ada di sana harus menimba ilmu kedokteran dan hukumnya akan kembali kifayah jika sudah ada yang melakukannya.

Tapi tidak sesimpel itu untuk menjadi seorang dokter muslim. Tidak hanya kewajiban kifayah saja yang dilakukannya, seorang dokter muslim juga harus berambisi setidaknya pada dua hal: memperbaiki kondisi kesehatan ummat Muslim se-dunia dan menemukan penemuan-penemuan terbaru di bidang kedokteran. Siaap..??

Terbayang kan, kalau kondisi kesehatan ummat Islam se-dunia sudah baik, maka perbaikan di ranah pendidikan, perekonomian, agama, pembangunan dan lain-lainnya bisa teratasi. Tidak ada lagi nantinya seorang Muslim yang mengeluh tidak bisa belajar mengaji dan menuntut ilmu karena fisiknya lemah. Tidak ada lagi nantinya Muslim-Muslim yang meramaikan rumah sakit karena menderita diabetes, stroke, dll, tapi sebaliknya: meramaikan masjid, gedung-gedung pemerintahan, sekolah, universitas, juga meramaikan pasar-pasar dan semua tempat dengan konsep-konsep Islam.

Kedua mengapa harus menemukan sesuatu yang baru? Karena kita tidak mungkin selamanya mengekor pada ilmu kedokteran barat. Untuk mengubah sesuatu yang lama, tentu saja harus menemukan konsep-konsep yang baru di bidang kedokteran.

Pernah dengar mengenai efek placebo? Suatu efek yang bisa menyembuhkan pasien tanpa obat. Bukan wilayah perdukunan kok. Tapi efek pasebo itu terkait kondisi dan keyakinan pasien. Misal, pasien A berkata, saya datang ke dr.A saat sakit, tapi datang saja sudah membuat saya sembuh. Atau kejadian pada pasien yang diberi pil placebo saat uji klinik. 

Lho? kok ujung-ujungnya jadi bahas placebo sih? Ihh... sabar ya, maksudnya saya mau menjelaskan bahwa masalah penyakit pasien tidak terbatas pada dia sakit di bagian mana, seberat apa penyakitnya, terus dikasih obat apa, tapi masalah pasien itu kompleks. Kadang ada lho pasien yang datang cuma untuk curhat sama dokter? (Ini seriuss gan..) Seorang dokter muslim yang baik, tidak memandang pasien sebagai objek yang sakit, tapi memandang keseluruhan individunya, lingkungan sosialnya, dll nya yang bisa memengaruhi kondisi kesehatannya. So, banyak hal yang harus dipelajari dan dipersiapkan sebagai calon dokter muslim yang handal. 

And then, for the last... Setelah kita tahu apa orientasi kita untuk menjadi dokter Muslim, kita patutnya tetap setia pada perkembangan situasi di negeri kita dan di negeri muslim lainnya. Inget kan haditsnya Rasul? "Seorang Muslim itu bagaikan satu tubuh. Jika satu bagiannya sakit maka yang lain turut merasakannya." Jangan pernah bersikap antipati terhadap problem yang terjadi di sekitar kita, karena suatu saat kita akan kembali untuk mengatasi situasi itu. Sekalipun, textbook dan jurnal-jurnal yang kalian baca, slide-slide dosen yang perlu kalian review, logbook yang harus selalu dikumpulkan tiap minggu, ujian berkala tiap modul dan lain-lainnya memenatkan otakmu, menyita penuh perhatianmu, menguras tenagamu, bahkan terkadang, membakar emosimu, ingatlah sejawat bahwa kita harus tetap peduli terhadap permasalahan yang melanda Muslim se-dunia. 

Yakinkan dirimu, bahwa Allah selalu bersamamu dan Allah akan memudahkan usahamu. Banyak-banyak berdo'a dan jauhi mengeluh. Tetap semangat sejawat...!!!

0 komentar:

Copyright © 2014 Mahdiah Maimunah