Saturday, September 24, 2011

Daun pun Berdzikir


"Kurahasiakan cinta dan kusembunyikan rahasia ini dari penglihatanmu. Dia yang mengungkapkan rahasia akan dianggap bodoh. Sementara keheningan dan kerahasiaan jauh lebih baik bagi dia yang jatuh cinta."

 Kalimat di atas merupakan salah satu goresan kalimat yang paling menyentuh. Paling menusuk saya dan mungkin saudara-saudara yang membacanya. Ketika memang sebagian kita merasakan, kebanyakan memilih untuk mengutarakannya. Namun, semoga saja lebih banyak yang menyimpan sendiri keindahan rasanya, membiarkannya terasa biasa saja, dan menguncinya rapat-rapat dalam lemari kalbunya. Aamiin...

  Membaca buku ini menurut saya tidak saja hanya mengikuti dan merunut alur yang digagas oleh penulis. Tapi saat kita merasakan jiwa kita terguncang-guncang karena menemukan sosok yang berbeda dari seorang Haydar. Seorang yang diwarisi ilmu ketampanan dan kekayaan jiwa dari ayahnya. Ayahnya adalah orang yang disegani di pedukuhannya, meski kemiskinan amat sering membuatnya merana. Aih... rasanya tidak. Mungkin itu hanya pendapat sebagian orang pedukuhan yang mengenal harta di atas cinta. 

 Malang sekali bagi Haydar, pemuda itu harus ditinggalkan sang ayah menuju keharibaan Rabb Maha Mulia. Perjumpaan yang akan sangat dirindu bagi orang-orang yang dikasihiNya. Haydar tak sempat menemani detik-detik terakhir ayahnya yang akan menutup mata untuk selama-lamanya. Karena saat itu, ia tengah merantau keluar kota menjadi seorang kuli bangunan untuk memenuhi tuntutan kehidupan. 

 Beranjak dari kematian ayahnya, kelak kita akan disuguhkan kisah yang memilukan hati. Dimulai saat fitnah yang menimpa dirinya seolah menjadi kalimat kebenaran bagi warga Dukuh Gagatan. Bayangkan, ia saat itu dikira gila karena ia mencintai Shofi, seorang gadis berhati dan berupa layaknya bidadari. Bahkan disebutkan oleh salah seorang warga, "Mungkin rembulan cemburu pada kecantikannya." Bu Usman, Ibu Shofi yang mengetahui desas-desus itu turut terbakar emosinya. Memasang dinding pemisah yang amat tebal antara Shofi dan Haydar yang dulunya bersahabat. Seolah kedudukan harta menjurangi persahabatan mereka. 

 Kisah di buku ini dilanjutkan tentang hubungan antara Shofi, Bram dan Haydar. Bram dan Lidya. Asep dan Lidya. Lidya dan Bram. Serta Haydar dan Nayla. Saya merasa puas membaca buku ini. Ada kekuatan kata-kata yang dituangkan oleh penulisnya. Ada banyak hikmah yang tak ketinggalan akan kita petik dan direalisasikan pada kehidupan nyata. Bagaimana kuatnya Haydar dan Ibunya saat mereka menjadi bahan pergunjingan, atau saat rumah mereka di bakar sementara saat itu mereka sedang menemani keluarga Nayla yang berduka karena kematian ayahnya. 

 Duuh... Rasanya kata-kata tak mampu melebihi indahnya keratan kalimat yang terangkai begitu memesona. Izinkan saya memanggil bait do'a yang dilantunkan Haydar saat selesai menunaikan shalat zhuhur di dekat pohon albasia. 

 "Ya Allah.... muliakan kami dengan hidayah dan istiqamah. Luruskan lidah kami dengan kebenaran dan hikmah. Penuhilah hati kami dengan ilmu dan makrifat. Bersihkan perut kami dari haram dann syubhat. Tahan tangan kami dari kezaliman dan pencurian. Tundukkan pandangan kami dari kemaksiatan dan pengkhianatan. Palingkan pendengaran kami dari ucapan yang sia-sia dan umpatan."

5 komentar:

musa said...

all the best...

Irma Devi Santika said...

wah satu lagi buku yg direview.. jadi penasaran sama ceritanya.. cinta itu kadang indah saat hanya kita dan Alloh yang tahu..

hhmm.. sayang sekali blm bisa cari2 buku fiksi dulu, target baca buku kuliah menumpuk. hehehe..

Mae said...

@k mus: syukron, by the way, blog y udh aktif lgi ya? kirain udh g smangat nulis. hehe..

@mbak irma: aku setuju... :D
Aku sih sbenarnya juga, tpi ngga bisa ;)

ROe Salampessy said...

siap meluncur ke gramedia minggu depan. :)

tks reviuwnya. :)

Mae said...

hehe, siip, sma2 bang roe :)

Copyright © 2014 Mahdiah Maimunah