Tuesday, April 17, 2012

Satu Buku Sebelum Mati


buku

Jika hidup terasa cukup bahkan sempurna, mengapa kita masih harus menulis? Saya selalu percaya, setiap orang memiliki cerita. Sebagaimana saya percaya, setiap kita pasti pernah atau barangkali pun masih melalui garis perjuangan yang jika dikisahkan akan menginspirasi dan menggerakkan lebih banyak orang.
Seorang kawan yang dulu bersekolah dengan seragam lusuh dan sepatu sobek, kini bekerja di sebuah perusahaan terkemuka dengan jabatan tinggi. Beberapa sosok terkenal dan sukses yang pernah saya temui, berasal dari potret keluarga Indonesia yang bergulat dengan kemiskinan dan kesulitan hidup yang hebat.
Sayang, hanya sedikit yang mengetahui lembaran suram di balik keberhasilan mereka saat ini. Saya percaya, ada pahlawan hidup di sekitar kita, yang sosoknya dicari banyak orang. Juga figure menarik yang menyimpan wawasan, hikmah, dan pengalaman yang bisa menjadi pelajaran bagi banyak orang.
Ketika berangkat ke Tanah Suci pada 2007, saya bertemu seorang pembimbing haji yang sangat bijak. Dalam usia baru lima puluhan, beliau telah pergi haji sebanyak 28 kali. Jika ditambah dengan umrah, mungkin sudah 50-70 kali ustaz tersebut ke Tanah Suci. Terbayang pengalaman yang beliau miliki. Berapa banyak yang bisa dipelajari ummat ini dari setiap perjalanannya.
Jamaah yang pernah mendapatkan bimbingan beliau biasa memanfaatkan keberadaan ustaz ini untuk bertanya tentang apa saja, demi menggali ilmunya. Maka, terasa sebagai sebuah kehilangan besar ketika saya mendengar kabar ustaz tersebut telah berpulang.
Sedih, pertama karena Indonesia kehilangan satu lagi ulama. Kedua, karena membayangkan berapa banyak kerugian yang kita alami. Bersama kepergian ustaz tersebut, ikut terkubur begitu banyak ilmu, pengalaman dan pengetahuan. Sebab, ustaz tersebut tidak menulis maka tidak ada jejak tertulis yang tersisa.
Tentu, bisa saja murid-murid ustaz tersebut menuliskan pikiran, pengalaman dan perjuangan almarhum, tetapi pasti berbeda jika langsung dari sumbernya. Ada detail, maupun emosi yang mungkin akan mengalami pergeseran atau berkurang kekuatannya jika orang lain yang mengisahkan. Bagi saya pribadi, salah satu yang selama ini terus mendorong untuk tetap menulis adalah kesadaran betapa pendeknya usia, dan betapa besar keinginan agar dikenang oleh kedua buah hati saya.
Satu buku sebelum mati. Mari mulai menggerakkan pena agar kita abadi. Agar sepenggal kehidupan menyisakan kenangan di hati mereka yang kita cintai, juga khalayak luas. Berhadapan dengan tiga pemenang Lomba Menulis Novel Republika lalu, salah satunya seorang guru berusia 59 tahun yang belum pernah menulis satu novel pun sebelumnya, menguatkan keyakinan saya, siapa saja bisa menulis.
Ada banyak cara, untuk meningkatkan keterampilan menulis, jika dianggap perlu. Dengan tulisan, tak hanya kesuksesan, bahkan kegagalan yang dilalui bisa menjadi inspirasi bagi orang lain.
Dan, insyaAllah dengan menulis yang disertai keikhlasan, seseorang telah membuka rekening tabungan bagi amal jariahnya. Sebab, keran-keran ilmu tetap mengalir karenanya meski jantung tak lagi berdetak.
By: Asma Nadia, Penulis Novel Best Seller-Emak Ingin Naik Haji-

2 komentar:

Budiman Asady said...

gak keliatan tulisannya..

satu buku, jika tidak pernah dicoba takkan pernah terealisasi, nice...

Mae said...

iya... smangat..!!!

Copyright © 2014 Mahdiah Maimunah