Satu Buku Sebelum Mati
Jika hidup terasa cukup bahkan sempurna, mengapa kita masih
harus menulis? Saya selalu percaya, setiap orang memiliki cerita. Sebagaimana
saya percaya, setiap kita pasti pernah atau barangkali pun masih melalui garis
perjuangan yang jika dikisahkan akan menginspirasi dan menggerakkan lebih
banyak orang.
Seorang kawan yang dulu bersekolah dengan seragam lusuh dan
sepatu sobek, kini bekerja di sebuah perusahaan terkemuka dengan jabatan
tinggi. Beberapa sosok terkenal dan sukses yang pernah saya temui, berasal dari
potret keluarga Indonesia yang bergulat dengan kemiskinan dan kesulitan hidup
yang hebat.
Sayang, hanya sedikit yang mengetahui lembaran suram di
balik keberhasilan mereka saat ini. Saya percaya, ada pahlawan hidup di sekitar
kita, yang sosoknya dicari banyak orang. Juga figure menarik yang menyimpan
wawasan, hikmah, dan pengalaman yang bisa menjadi pelajaran bagi banyak orang.
Ketika berangkat ke Tanah Suci pada 2007, saya bertemu
seorang pembimbing haji yang sangat bijak. Dalam usia baru lima puluhan, beliau
telah pergi haji sebanyak 28 kali. Jika ditambah dengan umrah, mungkin sudah
50-70 kali ustaz tersebut ke Tanah Suci. Terbayang pengalaman yang beliau
miliki. Berapa banyak yang bisa dipelajari ummat ini dari setiap perjalanannya.
Jamaah yang pernah mendapatkan bimbingan beliau biasa
memanfaatkan keberadaan ustaz ini untuk bertanya tentang apa saja, demi
menggali ilmunya. Maka, terasa sebagai sebuah kehilangan besar ketika saya
mendengar kabar ustaz tersebut telah berpulang.
Sedih, pertama karena Indonesia kehilangan satu lagi ulama.
Kedua, karena membayangkan berapa banyak kerugian yang kita alami. Bersama
kepergian ustaz tersebut, ikut terkubur begitu banyak ilmu, pengalaman dan
pengetahuan. Sebab, ustaz tersebut tidak menulis maka tidak ada jejak tertulis
yang tersisa.
Tentu, bisa saja murid-murid ustaz tersebut menuliskan
pikiran, pengalaman dan perjuangan almarhum, tetapi pasti berbeda jika langsung
dari sumbernya. Ada detail, maupun emosi yang mungkin akan mengalami pergeseran
atau berkurang kekuatannya jika orang lain yang mengisahkan. Bagi saya pribadi,
salah satu yang selama ini terus mendorong untuk tetap menulis adalah kesadaran
betapa pendeknya usia, dan betapa besar keinginan agar dikenang oleh kedua buah
hati saya.
Satu buku sebelum mati. Mari mulai menggerakkan pena agar
kita abadi. Agar sepenggal kehidupan menyisakan kenangan di hati mereka yang
kita cintai, juga khalayak luas. Berhadapan dengan tiga pemenang Lomba Menulis
Novel Republika lalu, salah satunya seorang guru berusia 59 tahun yang belum
pernah menulis satu novel pun sebelumnya, menguatkan keyakinan saya, siapa saja
bisa menulis.
Ada banyak cara, untuk meningkatkan keterampilan menulis,
jika dianggap perlu. Dengan tulisan, tak hanya kesuksesan, bahkan kegagalan
yang dilalui bisa menjadi inspirasi bagi orang lain.
Dan, insyaAllah dengan menulis yang disertai keikhlasan,
seseorang telah membuka rekening tabungan bagi amal jariahnya. Sebab,
keran-keran ilmu tetap mengalir karenanya meski jantung tak lagi berdetak.
By: Asma Nadia, Penulis Novel Best Seller-Emak
Ingin Naik Haji-
2 komentar:
gak keliatan tulisannya..
satu buku, jika tidak pernah dicoba takkan pernah terealisasi, nice...
iya... smangat..!!!
Post a Comment