Thursday, June 5, 2014

Tentang 'Sabar'

.com/blogger_img_proxy/

Kata orang sabar itu ada batasnya. Jika tak mampu lagi menahan, di sanalah ia kehabisan kesabaran. Memangnya ada ya? Hehe.. lucu juga sih mendengar ungkapan itu. Tapi mungkin kelucuan itu ada ketika kita tidak benar-benar mengalami hal yang berkali-kali lipat sulit. Saat mengalami, mungkin saja ada kalanya kita membenarkan kalimat tersebut.

Seseorang yang tidak terbiasa mengambil hikmah dari apa yang dia alami sehari-harinya, mungkin akan diuji dengan hal-hal sepele. Masalah pertemanan, sulit ngerjain soal saat ujian, dllsb. Tapi bagi yang diberi tarikan lebih dalam untuk meresapi makna kehidupan tak mungkin diberi ujian dengan level yang sama seperti tipe orang yang sebelumnya. Mungkin sampai menekan batinnya yang paling dalam. Analoginya seperti ujian nasional sekolah. Ga mungkin dong anak SMA diberi ujian soal anak SD? Iya kan?

Huffh.. mesti tarik napas dalam untuk memperbincangkan masalah ini. Pasalnya yang sulit dari melaksanakan sabar adalah 'bertindak untuk sabar'. Bukan menunggu agar kita digelari sebagai orang yang sabar atau semata2 meminta sabar untuk melekat pada diri kita.

Dalam suatu kegiatan, ada seorang ustadz yang mengatakan hal ini: "sabar itu bukan suatu hal yang pasif. sabar itu adalah pekerjaan. Ketika ada seseorang yang berdo'a pada Allah dan memohon agar dikaruniakan kesabaran pada dirinya, maka jawaban itu adalah ujian. Bayangkan saja, bagaimana seseorang mau mengaku sabar jika tak ada ujian yang didatangkan kepadanya?"

Ujian pun datangnya tak sekali. Karenanya terkadang banyak orang yang mengistilahkannya dengan 'ujian bertubi-tubi'. Padahal ujian itu perlu dibiasakan dan sifatnya seperti estafet, atau bahkan seperti mendaki gunung, semakin tinggi kita sudah mulai kelelahan, kehabisan tenaga, tapi sebentar lagi kita akan mencapai kepuasannya. Puas karena ternyata kita bisa menjadi orang yang dalam kondisi apa pun selalu menerima dengan 'woles' apa yang ditakdirkan Allah pada dirinya.

Lalu bagaimana agar woles? Bukankah itu sulit? Bukankah nanti kita bakal gini2, dst? Iya sih, sering juga merasakan gitu. Nasib kita bagaimana setelah ini, bagaimana saya harus menyingkronkannya dengan hal lain? Bagaimana cara kita mengelolanya agar tidak memberatkan orang lain  yang kita cintai? Bagaimana agar dengan masalah ini mimpi2 kita masih mampu kita capai? Rasanya sudah semakin dekat saja karena saya merasakan ini memang sangat berat?

Cukup satu: husnuzhon kepada Allah terhadap apa yang terjadi pada dirimu hari ini, setelahnya dan masa depan. Uraikan kekhawatiran itu dengan menggenggam banyaknya ni'mat yang kamu rasakan hingga hari ini. Jauhkan perhatianmu dari masalah. Ambil sisi luar dari ujianmu. Jika terasa kekhawatiran berlebih tentang masa depanmu, tanyakan saja: "Apa memang benar nanti kejadiannya bakal sesuai sama yang kita pikirkan?" Belum tentu bukan?

Sadarlah.. Kita bukan Tuhan atas diri kita sendiri, ada Allah yang kebijakannya tak sama sesuai persepsi kita. Inget surat ini deh:
"Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia baik bagimu dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia buruk bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui." (Al-Baqarah 216)

Dalam sabar pun, kita harus mengusahakan kesabaran yang baik, tak hanya sekedar sabar saja lalu benar2 pasrah dan menyerah:
"Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik." (Al-Ma'rij:5)


Ya Rabbi, karuniakanlah aku kesabaran seperti kesabarannya para anbiya. Seperti kesabarannya Yusuf saat ia diftnah dengan fitnah yang besar. Seperti Ayyub yang ditimpa bencana bertubi2, kemiskinan, kehilangan anak dan kesakitan yang berat. Seperti Rasul tercinta dengan beragam cabaran :')



0 komentar:

Copyright © 2014 Mahdiah Maimunah