Ikhlas, Sebuah Nilai Plus yang Menembus Lintas Generasi
![]() |
kolomkita.detik.com |
Seorang gadis kencur tengah diperintah ibunya untuk bangun dan memeras susu kambing peliharaannya.
"Cepatlah bangun! Segera kau peras susu kambing-kambing kita dan campurkan dengan air. Mumpung hari masih pagi buta dan belum ada orang lain yang melihatnya."
"Aku tidak akan melakukannya ibu. Karena aku tahu ada yang melihatnya."
"Siapa dia?"
"Allah bu."
.:o00o:.
Kedua anak beranak itu sebetulnya juga tidak sadar bila perbincangan mereka telah didengar oleh Khalifah Umar. Keesokan harinya karena mengetahui kejujuran sang gadis, Umar langsung melamar beliau untuk putranya, Ashim bin Umar. Kelak, dari hasil pernikahan mereka lahirlah seorang Khalifah kelima dengan nama dan sifat yang mirip dengan Umar. Dialah Umar bin Abdul Aziz, yang pada kekhalifahannya, tak ada seorang pun rakyatnya yang miskin.
Itulah secuplik kisah gadis shalihah yang ikhlas dan bersabar dalam menjalankan perintah Allah.
"Maka bersabarlah untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu, dan janganlah engkau ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antara mereka." (Al-Insan: 24)
"Ternyata memang.", kata ustadz Rahmat Abdullah dalam Warisan Sang Murabbi, "Keikhlasan seorang atau keluarga kerap menembus sampai beberapa generasi sesudahnya. Lihatlah, "Keikhlasan yang 'naif' Nabi Ibrahim yang rela -demi melaksanakan perintah Allah- meninggalkan istri dan bayinya di lembah yang tak bertanaman di dekat rumah Allah yang dihormati (QS.Ibrahim:37) menghasilkan keturunan yang bukan hanya turunan nasab yang konsisten, tetapi turunan fikrah yang militan." Berseberangan dengan pengkhianatan istri Nabi Nuh dan Luth yang menghasilkan generasi yang jauh berbeda.
Ketika Ismail dengan keikhlasannya berkata: "Ayahanda, lakukanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu, akan kau temukan daku insyaAllah termasuk orang-orang yang sabar." (Ash-Shaffat:102). Sementara Yam bin Nuh saat diajak Ayahnya menaiki bahtera, dengan pongahnya berkata: "Aku akan berlindung ke gunung yang akan menyelamatkanku dari air bah." (Hud:43)
Jika Nuh dan Luth yang sama-sama ikhlas agar anaknya taat kepada Allah saja bisa menghasilkan karakter yang berbeda. Apatah lagi zaman sekarang? Banyak ayah dan ibu yang merasa telah menjadi ayah dan ibu yang sesungguhnya bagi anak-anak mereka. Padahal kesibukan mereka telah menyebabkan anak-anaknya mencari bimbingan lain sebagai penuntun arah. Baik dari teman, media maupun lingkungan.
Mereka merasa dengan 'keikhlasannya' telah mendidik anak-anaknya dengan baik dan menjadikan parameter keberhasilan pendidikan ketika mereka berhasil menjadikan anak-anak didik sebagai hamba ayah, hamba ibu atau pun hamba guru yang manut bila diperintah ini dan itu. Padahal, jika saja mereka dengan keikhlasannya mampu membimbing buah hatinya agar menjadi hamba Allah, sungguh tak akan ada lagi keraguan pada mereka bahwa anak tersebut akan menjadi seorang pembangkang, pecandu narkoba, pengonsumsi produk pornografi dan penderita kerusakan moral yang lainnya.
Ada sebuah misteri berkah yang insyaAllah akan mengajarkan kita bahwa dalam proses pendidikan anak memang dibutuhkan sebuah keikhlasan -yang sejatinya hanya Allah yang tahu-.
Di sebuah daerah, seorang ayah tengah membesarkan putra-putrinya dengan keyakinan penuh akan kewajibannya menjadikan permata hatinya sebagai amanah dari Allah. Meski disadarinya dirinya sangat jauh dari penguasaan teori-teori ilmu pendidikan.
Namun siapa sangka, kini anaknya merupakan anak-anak yang cerdas dan luar biasa. Anak SMU-nya lulus dengan baik dan hafal 1000 Alfiyah Ibnu Malik -gramatika arab atau biasa disebut nahwu-. Ia menjadi rujukan teman-teman sesama mahasiswa di universitas terkemuka di negara Arab. Tak kalah menakjubkan dengan sang adik yang mendapatkan hak beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di universitas unggulan di Eropa. Sementara anaknya yang lain menjalani dua kuliah sekaligus: jurusan Bahasa Arab di pagi hari dan siangnya di jurusan Ekonomi. Kemenakannya juga hafal Al-Qur'an menginjak semester 8 salah satu Institut teknologi paling bergengsi di negeri ini dan kemenakan lainnya lulus akademi militer angkatan darat tanpa hilang kesantriannya yang pekat. (Warisan Sang Murabbi)
Masih banyak lagi generasi-generasi hebat hasil karya pendidikan yang luar biasa dari orang tua mereka. Seperti kisah alm. Ibunda Yoyoh Yusroh dengan ketiga belas anaknya dan Ibu Wirianingsih dengan 10 anaknya. Mereka semua padahal diberikan beban kesibukan yang luar biasa. Tapi kesibukannya, tak mematikan kreativitasnya dan tetap memberikan pengayoman kepada anak-anaknya.
Saya pun akhirnya berani menarik benang merah dari penelusuran di atas dan kaitannya dengan moral yang sekarang semakin tergerus.
Adalah karena kurangnya pewarisan nilai-nilai kehidupan dari elemen keluarga terhadap generasi penerusnya yang merupakan penyebab utama dari semuanya. Seseorang yang disebut-sebut sebagai ayah atau ibu sejatinya tidak hanya sebagai pemuas kebutuhan sang anak. Tapi juga menjadi guru kehidupan bagi anak-anaknya. Bukankah keluarga sebagai lingkup pertama bagi pembentukan karakter anak? Maka, dimana lagi anak-anak akan menemukan apakah itu ikhlas, apakah itu sabar jika bukan keluarga sendiri yang menjadi contoh nyatanya? Sangat tidak mungkin jika penyerahan anak kepada sekolah juga berarti penyerahan pendidikan moral yang sepenuhnya tanpa peran serta orang tua. So, ayah, ibu, jangan biarkan generasi kita menjadi generasi yang kehilangan arah dan tidak memiliki warisan nilai-nilai kehidupan.
5 komentar:
postingan yang sangat bagus sekali; semoga menjadi inspirasi bagi para orangtua untuk bisa menjadikan keluarganya sebagai ajang pendidikan dalam ikhlas...
pesan yang indah buat kita sebagai pemuda yang akan meneruskan nasib bangsa ini.. ;)
aamiin insyaAllah :)
di mana pun kita berada, sungguh Allah Ta'ala senantiasa mengetahui...
hmmm, postingan yang inspiratif, Sobat!
siiip, setuju...
Post a Comment