Untukmu Calon Dokter Muslim
Dalam suatu pembelajaran mengenai 'Dokter Muslim', dosen saya mengisahkan pengalamannya saat menangani salah satu pasiennya. Pasien tersebut berkata:
"Bu dokter, bukannya dokter itu orang yang pinter-pinter ya..?"
"Ya.", jawab dosen saya. "IQ nya kira-kira dari kelas menengah ke atas."
"Kalau begitu, kenapa dokter itu masih harus percaya kepada Tuhan?"
Dengan tenang dosen saya berkata:
"Justru karena profesi kedokteran itu saya malah semakin percaya kepada Tuhan dan merasakan bahwa diri saya semakin kecil di hadapan-Nya."
Itu pengantar awal artikel ini mengenai dokter muslim. InsyaAllah saya akan menjabarkan beberapa hal yang berkaitan dengan kisah singkat di atas.
Pertama adalah analisis mengenai niat. Setiap muslim sudah sering dan mungkin sudah sangat hafal hadits mengenai niat. Namun saya wajib meyakinkan diri saya sendiri dan juga rekan-rekan sejawat untuk terus berusaha memurnikan niat karena Allah. Kenapa? Karena profesi kedokteran itu merupakan profesi yang paling rentan untuk melakukan penyalahgunaan. Banyak sekali godaan-godaan yang akan kita temui nanti, terutama godaan yang terkait dengan materi. Sebenarnya, tidak ada yang perlu dicemaskan. Dengan bekal stetoskop saja, kata dr.Arlis, kita bisa menyalakan api kompor setiap hari di rumah :)
Selain itu, terkait dengan perkataan atheis dalam dialog di atas, sebagai seorang dokter muslim, kita wajib menjauhkan diri dari sikap sombong. Dokter bukanlah manusia yang bekerja untuk menyembuhkan, tapi memberikan pengobatan. Itu kata kuncinya. Yang berhak menyembuhkan hanyalah Allah. Yakinlah! Meskipun kita telah melakukan diagnosis secara cermat, memberikan obat-obatan yang tepat, dllsb, tapi ada faktor penentu yang menyebabkan kesembuhannya: Allah. Maka, bukanlah hal yang lumrah ketika banyak juga dijumpai kasus seorang penderita penyakit yang telah mencoba berbagai jenis pengobatan baik medis maupun alternatif namun tidak sembuh-sembuh. Oleh karenanya, sebagai calon dokmus sejati, kita mesti benar-benar menyerahkan hasil usaha kita setelah melakukan serangkaian pengobatan (pemulihan).
Kedua adalah mengenai proyek jangka besar kita sebagai dokter muslim. Sebelumnya saya ingin mengucapkan syukur yang tak berhingga untuk Allah yang memberikan fasilitas kepada saya untuk mempelajari materi mengenai banyak hal tentang kedokteran muslim. Alhamdulillah.
Berdasarkan beberapa pemicu yang saya pelajari saat diskusi, saya banyak diantarkan kepada banyaknya permasalahan yang wajib diselesaikan oleh calon dokter muslim. Sejauh ini, beberapa kasus tersebut adalah:
1. Permasalahan mengenai syari'ah dan fiqh. Contoh kasusnya: seorang dokter harus melakukan operasi selama dua belas jam, dari jam 08.00 pagi -20.00 malam. Maka, bagaimana dokter tersebut harus melakukan shalat?
Dari contoh kasus ini saya sudah mencoba mencari literatur yang ditulis dalam Bahasa Indonesia dan menanyakan ke beberapa orang yang dipercaya, namun saya sulit menemukan jawaban yang pasti. Sehingga saya berpikir, kita perlu melakukan pembahasan secara mendalam mengenai fiqh dan syariah tersebut dan menuliskannya dalam bentuk buku sebagai referensi untuk calon-calon dokter muslim selanjutnya.
2. Sebuah fakta mengejutkan dari artikel yang saya baca, ternyata lebih dari 90% dokter tidak mengetahui status kehalalan obat yang diberikan kepada pasiennya (http://www.halalmui.org/index.php?option=com_content&view=article&id=367%3Amenyoal-kehalalan-obat&catid=93%3Ahalal-article&Itemid=428&lang=in).
Selain itu, hingga saat ini, bidang kajian obat IDI memang belum membahas permasalahan halal dan haram secara khusus. Mereka hanya memfokuskan permasalahan sebatas keamanan, efektivitas, ketersediaan dan keterjangkauan harganya saja. Padahal banyak sekali kandungan-kandungan obat yang ternyata mengandung zat-zat yang diharamkan dan bahkan berbahaya bagi kesehatan.
Sebut saja lovenox, jenis obat antikoagulan yang ternyata terbuat dari babi. Selain itu, sebagian cangkang kapsul, insulin dan vaksin terbuat dari unsur yang serupa. Begitu juga dengan penggunaan alkohol yang sering digunakan dalam proses ekstraksi obat-obatan dan juga digunakan sebagai kandungan obat batuk dengan kadar di atas 1 %.
Alasan yang sering dijadikan pembenaran adalah kondisi darurat. Namun sangat disayangkan, apakah kondisi yang akan ada selanjutnya selalu berupa kondisi yang darurat?
Lalu kemana hadits yang bunyinya: "Untuk setiap penyakit itu ada obatnya. Apabila obat tersebut sesuai dengan penyakitnya, penyakit tersebut akan sembuh dengan izin Allah." (HR.Muslim)
"Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit melainkan ada obatnya." (HR.Bukhari)
"Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan kamu dalam hal yang diharamkannya." (HR.Bukhari)
Apa yang harus kita lakukan?
a) Mendorong BPOM/LPPOM untuk giat mempublikasikan jurnal halal haramnya suatu obat. Atau kalangan dokter muslim perlu membentuk tim khusus yang menangani masalah ini.
b) Perlu dilakukan penelitian yang giat untuk menemukan obat-obatan pengganti dari sumber-sumber yang halal.
c) Penelitian untuk membuktikan kebenaran terhadap jenis2 obat-obatan yang telah disebutkan di dalam Al-Qur'an dan hadits. Memang sudah seharusnya seorang mukmin mempercayai apa yang dijelaskan oleh Allah dan apa yang melalui Rasulnya. Namun, dengan adanya fakta-fakta yang teruji dan spesifikasi yang jelas mengenai kadar obat yang digunakan dan pasien yang sesuai untuk menerimanya diharapkan mengurangi penggunaan terhadap obat-obatan kimia sintesis.
0 komentar:
Post a Comment