Monday, February 11, 2013

Mencuri Perspektif Langit




Apa yang kau rasakan ketika dunia yang sesak seolah menghimpit jiwamu...???
Sedih? Marah? Kesal? Atau bahkan bersabar dan ikhlas, ridho terhadap segala yang diberikan.??


Suka atau tidak suka sahabatku, peristiwa dan kejadian itu akan terus berjalan seperti aliran sungai, ia akan terus bergerak, berkelebat deras di hulu, hingga akhirnya menganak tenang tiba di hilir. Ada saatnya riak tersebut menjumpai pijakan batu yang besar keras sehingga sulit baginya mencapai hilir dan memutar sedikit alurnya, menciptakan belokan yang indah. Air tidak memaksa agar ia mampu menembus batu sehingga jalannya lurus kaku. Ia lembut, mengalah dan menerima bebatuan sebagai teman indah yang menghiasi perjalanannya. Andai saja riak air tak mau mengalah. Mungkin kita hanya akan menyaksikan sungai-sungai yang lurus kaku tanpa kelok yang memukau.

Kehidupan ini sahabatku, sejatinya setiap manusia pernah merasakan saat di mana matahari bersinar terang dan masa-masa di mana awan hitam datang mencengkram. Yang membedakan antara satu sama lainnya adalah perspektif dalam memandang kehidupan. Sangat mungkin ditemukan dua orang yang baru saja mengalami peristiwa yang sama namun keduanya menunjukkan reaksi yang berbeda; tersenyum atau merengut?

Seorang bijak di negeri ini pernah berkata: "Milikilah perspektif langit dalam memandang peristiwa yang terjadi di bumi.".

Kata-kata ini baru saya dengar sekitar dua hari yang lalu. Namun, sengatan kata-kata ini masih memutar otak saya bagaimana cara untuk merealisasikannya. Karena menurut saya, perspektif merupakan kata kunci yang mungkin dapat merubah kacaunya kehidupan sekarang. Bukankah dari perspektif akan lahir dua simpulan: husnudzhon (berpikir positif) atau suudzhon (berpikir negatif)?

Baru-baru ini saya mempelajari bagaimana fisiologi (proses tubuh) dalam hal penginderaan. Di sana saya menemukan begitu sinkronnya antara struktur tubuh dan perannya yang Allah ciptakan. Jadi tahu pula bagaimana untuk sebuah proses melihat saja, atau mendengar misalnya, betapa membutuhkan proses yang amat panjang. Namun responnya begitu cepat. Dari keseluruhan indra (penglihatan, pendengaran dan keseimbangan, peraba, pengecapan, dan penghidu) yang kemudian terintegrasi di otak dan dianalisis sehingga menimbulkan persepsi yang berbeda-beda. Subhanallah.... :')

Sangat disayangkan jika ciptaan maha dahsyat ini kita gunakan untuk kepentingan-kepentingan yang tidak Allah ridhoi. Termasuk dalam hal berpikir. Berpikir merupakan hasil kerja dan koordinasi dari keseluruhan indra kita disertai analisis berdasarkan peristiwa yang lalu. Yang menjadi pertanyaan adalah berapa sering kita membiasakan diri kita untuk selalu berpikir positif terhadap suatu peristiwa yang kita lihat, kita dengar, dan kita rasakan melalui indera kita?

Contoh kecilnya saja,  misalnya ada seorang teman yang terlambat masuk kelas. Apa yang akan kita pikirkan? Dia seorang indisipliner atau berpikir bahwa ada kejadian tertentu yang membuat dia telat? Contoh lainnya: ada seseorang yang kita tegur, tapi responnya biasa saja. Apakah kita berpikir dia cuek, mungkin dia tidak dengar atau mungkin dia sedang berkonsentrasi??

Lalu, bagaimana dengan sebuah peristiwa besar yang menyita sebagian besar waktu kita..?? Mungkin saja nilai yang anjlok. Bagaimana reaksi kita? Atau... Reputasi kita memburuk..??

Ketahuilah sahabat, ketika kita mampu memahami bahwa sesungguhnya yang menjadi penilaian dari Allah terhadap sesuatu yang kita lakukan itu kompleks, pasti kita akan memperhatikan setiap sudut amalan kita dan berusaha tawakkal ketika memang kita melakukannya secara optimal. Sehingga apa pun yang terjadi, bukan suatu masalah besar ketika ujian menimpa kita.

Dalam hal telat tadi misalnya. Ketika dalam suatu kondisi kita ditakdirkan telat menghadiri kelas, mungkin sebagian besar teman akan menilai kita indisipliner. Padahal mereka belum mengetahui bahwa sebenarnya kita sudah bangun lebih awal dan menyiapkan segalanya, namun saat di jalan ban motor kita bocor, atau angkotnya mogok dan tidak ada angkot lain yang  lewat menuju kampus kita. Di saat itu juga mungkin dosen akan mengecapmu sebagai pribadi yang tidak sopan karena hadir terlambat. Tapi penilaian siapa yang paling berharga dalam kasus ini? Manusia (teman dan dosen) ataukah penilaian Allah? Jadi, anggap saja penilaian manusia itu relatif-bahkan sempit, karena mereka bukan Tuhan yang mengetahui apa-apa yang kita alami dan kita rasakan. Begitu juga dengan peristiwa lain yang kita alami.

Selanjutnya, dari peristiwa yang kita alami maupun yang dialami oleh sekeliling kita, sesungguhnya mengajarkan kita untuk bersikap tenang menilai segalanya. Jangan terburu-buru memiliki perspektif yang buruk terhadap kejadian yang terjadi di bumi. Seperti kata Ustadz Anis Matta di atas: "Milikilah perspektif langit terhadap kejadian yang ada di bumi." Semoga dengan begitu, Allah juga menilai penilaian yang baik dari hati kita sebagai kumpulan pahala yang bisa menghantarkan kita menuju Firdaus-Nya.

Ya Rabbi, tunjukkanlah kepada kami bahwa yang benar adalah benar dan berikan kemampuan kepada kami untuk mengikutinya , dan tunjukkanlah kepada kami bahwa yang salah adalah salah dan berikan kemampuan kepada kami untuk menjauhinya. Aamiin...

3 komentar:

Muhamad Ratodi said...

Aamiiin...
Perspektif langit dalam memandang bumi?? semoga semua insan yang ada di bumi bisa ya..kalopun tidak bisa ke langit dan menapak ke bumi, hendaknya gunakan lebih dari satu perspektif (sudaut pandang) dalam melihat sesuatu peristiwa... love this post :)

Anonymous said...

Tenang dan tidak terburu-buru itu penting sekali ya, sehingga ada kesempatan untuk merenungkan dengan baik sebelum bertindak.

Mae said...

siip... betul :)

Copyright © 2014 Mahdiah Maimunah