Damai-Damai tak Harap Terurai
Di sini, kita pernah bertemu...
Mencari, warna seindah pelangi...
Ketika, kau mengulurkan tanganmu...
Membawaku ke daerah yang baru...
(Brothers)
Nasyid ini tengah menggugah jiwa dan keseluruhan perasaanku saat ini. Mungkin sudah terlalu sering kuceritakan tentang saat yang paling membuat aku bahagia. Ya, MASA SMP ku. Waktu-waktu yang paling aku syukuri hingga kini. Masa itu terlalu cepat berlalu. Namun bekasnya masih mengharu rindu tak terselesaikan.
Jika kau tanya kenapa aku menyukai segala dimensi yang berhubungan dengan masa itu, aku hanya bisa mengatakan “Aku Suka, aku cinta, aku bahagia.”
Aku ingat masa itu. Saat aku masih didera kebingungan untuk mencari seorang sahabat. Tak terlalu mengerti sebenarnya makna dari kata sahabat. Berdasarkan pengalaman beberapa orang, sahabat akan membuat kita selalu bahagia dengan kata yang mengundang senyum dan tawa. Seseorang yang pertama menemuimu dan menghiburmu saat jatuh tangismu. Hebatnya, sahabat itu katanya orang yang selalu sedia dan setia. Peduli apalah aku tentang hal itu. Aku hanya ingin punya seorang sahabat yang seperti kata kebanyakan orang. Bisa menghibur kita saat duka melanda. Sepertinya alasan itu cocok dengan kondisiku. Aku orang yang terlalu sering menangis. Bahkan terlalu cengeng.Tentu ada saja karena bidikan-bidikan yang memancing jatuhnya bening-bening kesedihan dari ujung kisut mataku. Ntah pertengkaran dengan adik kecilku, dimarahi ummi atau abiku, disinggung teman-teman,atau kekesalan dan kekecewaanku pada guru-guruku.
Satu hal yang masih kukenang dalam pencarian seorang sahabat. Aku pernah menuliskan persentase kandidat yang akan menjadi sahabatku pada diari kumalku. Jika saja ada perubahan berupa kebaikan atau pun keburukan dari masing-masing kandidat, akan mempengaruhiku untuk menaikkan atau menurunkan angka persennya. Bahkan hal itu berlangsung lama. Hingga akhirnya akhirnya aku menemukan seseorang yang sepertinya sangat cocok dengan kriteriaku. Anehnya pertemanan yang terbilang dekat itu, belum secara pasti ada kata “KITA SAHABAT”. Terlalu malu aku mengatakan hal itu pada saudariku. Namun lama kelamaan kami menyadari bahwa sesungguhnya kami adalah sahabat. Meski kami tak pernah menyatakannya secara eksplisit. Hanya kesadaran.
Sahabat yang banyak membawaku pada kebaikan. Selalu mengingatkanku untuk lakukan atau hindari suatu tindakan. Layaknya, seperti luasnya makna nama yang dimilikinya. Aku mencintai persahabatan ini. Banyak perubahan mengarah pada keshalihan pribadi dan spiritual yang kurasakan. Begitu luasnya makna yang tetap tersampaikan meski akhirnya kami terpisahkan.
Amat banyak lautan makna dari seorang sahabat. Utamanya yang bisa menuntunku akan keindahan bersama Allah. Aku masih ingat semuanya. Saat kita berkejar-kejaran menuju masjid kala adzan, lantas memasuki shaf shalat terdepan. Saat kita berlomba tilawah di teras masjid ditemani semilir angin yang sepoi. Sewaktu kau membantuku mengoreksi hafalan qur’anku dan sebaliknya. Saat kita melakukan diskusi kecil, berbagi tawa, bertukar canda dan ceria. Saat kita duduk bersama menyelesaikan tugas-tugas berat dari guru kita. Saat kau sabarkan aku jika berkeluh kesah. Saat kau menggangguku jahil, dan saat aku membalasnya dengan nada-nada manjaku. Saat yang dulu, saat yang tak pernah kutahu semuanya akan terabadikan di langit hatiku.
Terpisahkan kini. Banyak perubahan dari diriku dan dirimu sahabat. Sungguh persahabatan itu ternyata yang buatku rindu kembali ingin menjajahi masa lalu. Sayaaang…………. Aku sangaaat merindukanmu. Tahukah kamu bahwa duniaku kini sepi tanpa seorang sebijak kamu yang memanduku. Tanpa seorang yang bisa kuamanahi untuk menuangkan segala asa dan kesedihanku. Tanpa seorang sahabat yang menjaga nyalaku. Tanpa seorang yang akan ingatkan aku saat aku terlupa. Terlalu sulit hatiku menaruh percaya pada sekelilingku.
Sayang…… perpisahan ini membuatku makin sedih. Pertemuan seminggu sekali saat les, rasanya belum terobati bersamamu. Kesempatan ini tetap aku manfaatkan untuk berbincang denganmu atas masalah-masalahku. Bisakah kau rasakan kesedihanku ketika aku lebih memilih duduk bersamamu dibandingkan bersama teman sekolahku. Kau tahu kenapa sayang??? Karena aku lebih memilih menghindari agar aku tak terlarut dalam perbincangan dosa. Namun, aku belum bisa menghindarinya saat aku berada di bangku-bangku kelasku. Kau tak ada untuk menemaniku.
Sayang….. saat kini aku ingin menemuimu dan duduk bersamamu di kelas les, kau telah pergi untuk tak bersamaku lagi. Kau lebih memilih menghindar untuk bersama temanmu yang lain. Maafkan, maafkan sahabat…… jika kau terlalu lelah untuk mendengar semua pupus, sedih, dan kecewaku. Semoga Allah makin sayang, dan tetap menjaga hidayah keimanan kepunyaanmu. Allah, kutitip ia yang milik Mu…. Tetapkan ia dalam kebahagiaan. Beri aku kesabaran Rabb dalam mencintai saudariku. Semoga akan ada sepakat seperti ukhuwah yang dulu.
Aku tetap percaya, akan selalu ada lirih-lirih do'amu dalam lail untukku. Nada-nada cinta yang kau lafaz dalam rabithahmu. Pesan-pesan cintamu dalam tengadah kedua tanganmu. Pun begitu denganku cinta....
"Tidak beriman seorang di antara kamu, sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri (HR. Bukhari dan Muslim)
Mencari, warna seindah pelangi...
Ketika, kau mengulurkan tanganmu...
Membawaku ke daerah yang baru...
(Brothers)
Nasyid ini tengah menggugah jiwa dan keseluruhan perasaanku saat ini. Mungkin sudah terlalu sering kuceritakan tentang saat yang paling membuat aku bahagia. Ya, MASA SMP ku. Waktu-waktu yang paling aku syukuri hingga kini. Masa itu terlalu cepat berlalu. Namun bekasnya masih mengharu rindu tak terselesaikan.
Jika kau tanya kenapa aku menyukai segala dimensi yang berhubungan dengan masa itu, aku hanya bisa mengatakan “Aku Suka, aku cinta, aku bahagia.”
Aku ingat masa itu. Saat aku masih didera kebingungan untuk mencari seorang sahabat. Tak terlalu mengerti sebenarnya makna dari kata sahabat. Berdasarkan pengalaman beberapa orang, sahabat akan membuat kita selalu bahagia dengan kata yang mengundang senyum dan tawa. Seseorang yang pertama menemuimu dan menghiburmu saat jatuh tangismu. Hebatnya, sahabat itu katanya orang yang selalu sedia dan setia. Peduli apalah aku tentang hal itu. Aku hanya ingin punya seorang sahabat yang seperti kata kebanyakan orang. Bisa menghibur kita saat duka melanda. Sepertinya alasan itu cocok dengan kondisiku. Aku orang yang terlalu sering menangis. Bahkan terlalu cengeng.Tentu ada saja karena bidikan-bidikan yang memancing jatuhnya bening-bening kesedihan dari ujung kisut mataku. Ntah pertengkaran dengan adik kecilku, dimarahi ummi atau abiku, disinggung teman-teman,atau kekesalan dan kekecewaanku pada guru-guruku.
Satu hal yang masih kukenang dalam pencarian seorang sahabat. Aku pernah menuliskan persentase kandidat yang akan menjadi sahabatku pada diari kumalku. Jika saja ada perubahan berupa kebaikan atau pun keburukan dari masing-masing kandidat, akan mempengaruhiku untuk menaikkan atau menurunkan angka persennya. Bahkan hal itu berlangsung lama. Hingga akhirnya akhirnya aku menemukan seseorang yang sepertinya sangat cocok dengan kriteriaku. Anehnya pertemanan yang terbilang dekat itu, belum secara pasti ada kata “KITA SAHABAT”. Terlalu malu aku mengatakan hal itu pada saudariku. Namun lama kelamaan kami menyadari bahwa sesungguhnya kami adalah sahabat. Meski kami tak pernah menyatakannya secara eksplisit. Hanya kesadaran.
Sahabat yang banyak membawaku pada kebaikan. Selalu mengingatkanku untuk lakukan atau hindari suatu tindakan. Layaknya, seperti luasnya makna nama yang dimilikinya. Aku mencintai persahabatan ini. Banyak perubahan mengarah pada keshalihan pribadi dan spiritual yang kurasakan. Begitu luasnya makna yang tetap tersampaikan meski akhirnya kami terpisahkan.
Amat banyak lautan makna dari seorang sahabat. Utamanya yang bisa menuntunku akan keindahan bersama Allah. Aku masih ingat semuanya. Saat kita berkejar-kejaran menuju masjid kala adzan, lantas memasuki shaf shalat terdepan. Saat kita berlomba tilawah di teras masjid ditemani semilir angin yang sepoi. Sewaktu kau membantuku mengoreksi hafalan qur’anku dan sebaliknya. Saat kita melakukan diskusi kecil, berbagi tawa, bertukar canda dan ceria. Saat kita duduk bersama menyelesaikan tugas-tugas berat dari guru kita. Saat kau sabarkan aku jika berkeluh kesah. Saat kau menggangguku jahil, dan saat aku membalasnya dengan nada-nada manjaku. Saat yang dulu, saat yang tak pernah kutahu semuanya akan terabadikan di langit hatiku.
Terpisahkan kini. Banyak perubahan dari diriku dan dirimu sahabat. Sungguh persahabatan itu ternyata yang buatku rindu kembali ingin menjajahi masa lalu. Sayaaang…………. Aku sangaaat merindukanmu. Tahukah kamu bahwa duniaku kini sepi tanpa seorang sebijak kamu yang memanduku. Tanpa seorang yang bisa kuamanahi untuk menuangkan segala asa dan kesedihanku. Tanpa seorang sahabat yang menjaga nyalaku. Tanpa seorang yang akan ingatkan aku saat aku terlupa. Terlalu sulit hatiku menaruh percaya pada sekelilingku.
Sayang…… perpisahan ini membuatku makin sedih. Pertemuan seminggu sekali saat les, rasanya belum terobati bersamamu. Kesempatan ini tetap aku manfaatkan untuk berbincang denganmu atas masalah-masalahku. Bisakah kau rasakan kesedihanku ketika aku lebih memilih duduk bersamamu dibandingkan bersama teman sekolahku. Kau tahu kenapa sayang??? Karena aku lebih memilih menghindari agar aku tak terlarut dalam perbincangan dosa. Namun, aku belum bisa menghindarinya saat aku berada di bangku-bangku kelasku. Kau tak ada untuk menemaniku.
Sayang….. saat kini aku ingin menemuimu dan duduk bersamamu di kelas les, kau telah pergi untuk tak bersamaku lagi. Kau lebih memilih menghindar untuk bersama temanmu yang lain. Maafkan, maafkan sahabat…… jika kau terlalu lelah untuk mendengar semua pupus, sedih, dan kecewaku. Semoga Allah makin sayang, dan tetap menjaga hidayah keimanan kepunyaanmu. Allah, kutitip ia yang milik Mu…. Tetapkan ia dalam kebahagiaan. Beri aku kesabaran Rabb dalam mencintai saudariku. Semoga akan ada sepakat seperti ukhuwah yang dulu.
Aku tetap percaya, akan selalu ada lirih-lirih do'amu dalam lail untukku. Nada-nada cinta yang kau lafaz dalam rabithahmu. Pesan-pesan cintamu dalam tengadah kedua tanganmu. Pun begitu denganku cinta....
"Tidak beriman seorang di antara kamu, sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri (HR. Bukhari dan Muslim)
0 komentar:
Post a Comment