Mencintai Mereka (Lagi)

Pernah membayangkan hidup dalam kondisi tidak ada keromantisan* dalam keluarga? Ngga ada yang bilang “bunda sayang kamu nak.”. “Ayah bangga dengan perjuanganmu.”
Sedih? Mungkin. Tapi apa harus selamanya seperti itu? Tidak juga.
Saya mungkin contoh seorang anak yang tidak dibesarkan dengan kata-kata berbau romantisme dan kebanggaan.
Jadilah saya sebagai seseorang yang amat kaku untuk mengungkapkan apa yang saya rasakan kepada orang-orang di sekitar saya. Saya susah untuk mengapresiasi. Saya pun susah bilang sebaliknya kepada orang tua saya kalau “Saya mencintai Ummi”, atau “Saya sayang Abi”. Duh, terlalu rumit. Rasanya lidah begitu kelu untuk mengungkapkannya. Sejujurnya ingin merasakan apa yang dirasakan anak-anak sebaya saya. Terlalu banyak bahkan inginnya saya. Saya ingin juga agar saat pulang sekolah saya ditanyai: “tadi belajar apa saja?” Tapi itu nihil sampai saat saya dewasa. Atau mungkin saya lupa. Intinya saya menganggap bahwa keluarga saya terlalu datar, flat.
Sampai saat saya kuliah pun saya seringkali iri ketika teman-teman saya berlomba menceritakan seberapa sering orang tua mereka menanyai mereka. Lah saya? Boro-boro sering, paling2 hanya 1 bulan sekali.
By the way, sepanjang perjalanan saya menanti-nanti kapan saya diperlakukan romantic oleh keduanya, saya belajar untuk mengamati. Masa iya sih ummi dan abi ngga saying. Mungkin bentuk romantic mereka yang beda kepada kita. That’s! Sepertinya itu!
Mungkin ada yang berupa kata, tapi versinya misalnya ummi akan bilang “Ummi senang kalau….”. Atau kalau bukan dalam bentuk kata, mungkin romantisme mereka kepada kami anak-anaknya telah hadir dalam bentuk yang lain. Saya pun menemukannya! Saya baru sadar bahwa bentuk romantisme saya dan ummi adalah ketika saya melakukan ritual salaman sebelum berangkat sekolah. Saya akan menarik tangan ummi kemudian ummi akan mencium pipi saya agak lama sembari membisikkan do’a yang lumayan lama kalau dilakukan sembari bersalaman. Apalagi kalau kira-kira hamper telat. Dan mungkin masih banyak lagi yang tidak saya sadari.
Lalu, bagaimana dengan abi? Mungkin lebih abstrak lagi. Bahkan saya tidak bias memastikan di episode mana abi sesungguhnya sedang menunjukkan romantisme dan kasih sayangnya buat saya. Mungkin dalam kalimat “hati-hati ya” ketika akan berangkat sekolah bermakna “hati-hati ya sayang.” Atau yang mana lagi ya? Ntahlah. Sepertinya di setiap kalimat yang ingin Abi katakan, Abi ingin membubuhi kata-kata ‘sayang’ nya buat kita. Tapi, jiwa-jiwa perkasanya mungkin malu untuk mengatakannya. Atau mungkin, ia bermaksud agar anaknya, apatah lagi anak perempuannya ini tak bermanja-manja dan harus bersiap-siap belajar tegar.
Setelah saya melewati modul indra, akhirnya saya mulai paham mengapa Allah menciptakan sumber informasi itu masuk dengan beragam cara. Utamanya pendengaran dan penglihatan. Ayat-ayat tentang pendengaran dan penglihatan di dalam qur’an selalu berbarengan. Mengapa demikian?
Contoh, dalam kejadian ini kita merasakan ketidakromantisan dalam keluarga kita karena kita merasa tidak pernah mendapat input verbal yang menyatakan kecintaan mereka kepada kita. Tapi kita masih dianugrahi penglihatan oleh Allah, masa iya romantisme hanya sebatas kata. Liriklah dengan kedua mata kita tentang bentuk romantisme mereka secara lebih nyata. Ummi dan Abi kita romantis kok, pagi-pagi buta saja mereka sudah terbangun untuk sholat malam, memasrahkan kehidupannya kepada Allah, memohon agar kebaikan dan rezeki Nya bias mengalir hari ini dan seterusnya untuk kita sekeluarga. Mereka romantis, karena selalu mendo’akan kita dipermudah urusannya oleh Allah.
Kurang romantis apalagi di saat kita bersiap-siap ke sekolah, ummi dan abi kita juga mengkondisikan makanan selalu tersedia sebagai bekal energi untuk kita. Mereka pun dalam kondisi yang siap dan rapi untuk bekerja mencari penghasilan agar kita bias menyambung asa. Kurang romantis apalagi di saat mereka selalu menuntun perbuatan kita agar tak salah, meski dengan marah, memukul atau menghakimi kita?
Jika sudah begitu, rasanya mereka sangat romantis. Kita saja yang tidak merasakan rasa cinta yang mengalir dalam setiap bentuk tindakan mereka.
Suatu kali, akhirnya saya tersadarkan. Kita tidak selamanya bisa berharap semua menjadi normal, senormal bayangan kita. Saya pun bertanya-tanya, apakah alasan Allah menjadikan kondisi yang seperti ini bagi saya dan keluarga saya? Apa mungkin karena saya yang menyadari ini terjadi Allah ingin agar saya menjadi jalan pembuka romantisme verbal untuk keluarga saya? Yah, maybe.. That’s challenging!
Mula-mulanya berat. Saya hanya berani bilang dalam versi bahasa inggris ‘I love you mi, I love you bi’ yang kadarnya lebih ringan daripada ‘aku sayang ummi’, ‘aku sayang abi’. Itu pun lewat sms atau tag2an via status fb ketika saya masih di kota rantau. Balik lagi ke rumah semua seperti biasa.
Tapi, ada yang berbeda minggu-minggu ini. Saya terinspirasi dari sebuah majalah tentang ayah. Secara tidak langsung saya juga memahami betapa cintanya kepada kami dalam bentuk-bentuk abstrak yang kadang tak terucap lewat kata. Dalam kalimat-kalimat pesan, disampaikan kepada kita “sampai kapan kita menunda mengungkapkan perasaan kita kepada ayah kita?” Saya tidak ingin menjadi seseorang yang menyesal untuk mengapresiasikan rasa cinta saya kepada Abi saya.
Saya sms ‘aku sayang Abi karena Allah’. Begitu juga dengan ummi, saya bilang ‘aku sayang ummi karena Allah.” Alhasil, besoknya saya langsung ditelpon (*dasar mahasiswa kere). Selama seminggu ini saya juga bingung, kenapa hampir setiap hari saya jadi ditelpon. Berbicara kepada Abi juga tidak canggung lagi seperti dulu.
Di sini saya merasa bahwa saya kembali mencintai mereka lagi. Jatuh cinta saya kepada mereka setelah akhirnya saya menyadari betapa romantisnya kedua orang tua saya kepada saya. Saya jatuh cinta lagi setalah bertahun-tahun perjalanan mempertanyakan ‘kenapa orang tua saya tidak romantis?’ mempertemukan saya dengan jawabannya: bahwa terkadang, kita harus menjadi pembuka.
Oh ya, ada sedikit tambahan untuk menambah kedekatan dengan Abi. Terkadang, seorang ayah akan merasa sangat dihargai ketika kita menanyakan pendapat beliau atau saran-saran beliau. Meski terkadang kita sudah tau jawabannya. Masih dalam minggu yang sama, kebetulan saya akan diminta menjadi pembicara dalam sebuah agenda. Jujur, saya tipikal orang yang sangat grogi tampil di muka umum. Dengan dorongan yang kuat, akhirnya saya paksakan untuk menghubungi abi. Ingin meminta pendapat beliau bagaimana agar kita bias pede.
Mengakui bahwa saya bukan orang yang pede kepada abi sejujurnya berat, padahal ingin meminta saran. Kan lucu jika meminta saran bagaimana pede ke Abi sendiri tapi yang ngga pede orang lain. Hehe..
Jadilah saya membuka kelemahan saya di depan Abi, bahwa sebetulnya saya ngga pede ketika di depan umum. Sebetulnya saya pun bias meraba-raba apa yang akan diberikan oleh Abi, tapi ketika saya mendapatkan jawabannya langsung dari Abi sekaligus minta dido’akan agar presentasinya lancer, itu seperti sebuah hipnotis. Sepersekian ketidakpedean saya berguguran. Saya merasa bahwa di kelas presentasi saya ada Abi yang mendukung dan mensupport. Ini kasus unik yang saya rasakan sendiri.. Begitu dahsyat..
Usai hari presentasi pun Abi dan Ummi menelpon juga. ‘Bagaimana ngisi materinya?’
Duh, saya jadi nyengir-nyegir sendiri. Kagum dan bahagia memulai romantisme verbal di keluarga saya. Ini pengalamanku, bagaimana dengan pengalamanmu?
Ahad, 19 Maret 2015
0 komentar:
Post a Comment