OASIS
Tulisan kali ini saya beri nama sesuai nama kegiatan IMDB (integrated
moslem docter and biomedic): OASIS, salah satu kegiatan yang sampai saat
ini membuat saya bersyukur masuk fakultas kedokteran UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Alhamdulillah, saya bangga menjadi mahasiswa kedokteran UIN karena
kita benar2 diajarkan secara khusus dan langsung mengenai aspek2 non medis
seperti nilai2 keislaman dan juga empati. Semoga di kemudian hari apa yang saya
dan teman-teman terima bisa diaplikasikan dengan baik.
Kegiatan ini, menurut saya menimbulkan kesan yang dalam karena
kita bisa menggaet hikmah untuk berempati, merasakan apa yang dirasakan pasien
dan juga mendapatkan feedback positif yang menyadarkan dan mengingatkan lagi
para calon dokter dengan tamparan yang keras: “eh, lu itu mau jadi dokter. Udah
siap belom kalau ntar ada pasien lu yang dating buat lu kasih tau itu
penyakitnya apa dan apa yang bakal lu lakuin?” Semoga bisa jadi inspirasi
untuk teman2 di fakultas kedokteran lain untuk mengadakan kegiatan serupa.
Recommended lah..! Coba aja diusulin ke dosen2 di FK masing2. (*emang lu piker gampang?)
Tulisan ini saya tulis dengan harapan besar saya adalah saya
ingin apa yang saya terima hari ini bisa diketahui oleh teman2 saya para calon
dokter di luar UIN. Baca ampe akhir ya mbak, mas yang mau jadi dokter ;D
Agenda oasis kali ini menghadirkan Kak Fifit (bukan nama
sebenarnya), mahasiswi UIN jurusan pendidikan kimia FITK. Usianya 23 tahun dan
saat ini menrupakan mahasiswi semester 11. Suatu hal yang sempat mengherankan
memang, dibalik usia beliau yang semestinya sudah lulus. Tapi tentu kita
akhirnya berpikir lagi karena beliau salah satu pasien yang akan diundang, maka
penyakitlah yang mungkin menjadi alasan bagi kami untuk menarik prasangka buruk
kami tentangnya.
Kisah Kak Fifit dan
penyakit yang ia jalani, kadang membuat kita tak habis pikir. Beliau masih
muda, namun menderita penyakit Rheumatoid Artritis, salah satu tipe penyakit
autoimun (imun yang semestinya melindungi tubuh, menyerang balik). Kini
beratnya hanya 33 kg. Sungguh berat yang tidak masuk akal untuk seorang
mahasiswa seusianya.
Keluhan awal yang beliau rasakan adalah nyeri di bagian belakang
lutut sebelah kanan tahun 2010 yang lalu, kesannya seperti keseleo, tambah kak
Fifit memberi pemaparan. “Makanya, saat itu yang saya datangi pertama kali
adalah tukang pijit. Mungkin setelah dipijit, bisa baikan.”Sayangnya, setelah
dipijit, tidak ada perubahan, akhirnya barulah beliau ditemani orang tuanya
pergi ke dokter. Mendatangi dokter pertama, ia disarankan untuk menambal
giginya, kalau-kalau ada yang bolong mungkin bias mempengaruhi nyeri lutut yang
ia rasakan. Kak Fifit pun kemudian mendatangi dokter gigi, memeriksakan giginya
yang ternyata memang ada yang bolong dan menambalnya. Usai di tambal, tidak ada
perubahan. Nyeri masih terasa.
Belum puas karena keluhan masih dirasakan dan penyakit yang
dialami pun belum jelas, beliau datang ke dokter B, sebagai dokter kedua. Kali
ini kasusnya beliau diminta untuk cek lab dan dinyatakan terkena asam urat.
Selanjutnya beliau sambangi dokter yang ketiga, tak jauh berbeda, beliau
diminta untuk melakukan cek lab kembali dan akhirnya dinyatakan terkena
rematik. Akhirnya, pada saat beliau datang ke dokter ke empat, penyakit beliau bisa
diidentifikasi. Kebetulan sekali, Kak Fifit adalah pasien ke empat yang
mengalami Rheumatoid Artritis dari dokter terakhir yang menanganinya. Sebut
saja dokter Wahyu. Salah satu dokter teladan juga yang patut dicontoh
keprofesionalitasannya kepada pasien, baik dalam hal komunikasinya maupun
penanganannya. Dokter tersebutlah yang akhirnya menangani Kak Fifit sampai saat
ini.
Hal yang menyedihkan yang dialami Kak Fifit adalah keluhan nyeri
yang sangat dahsyat dirasakan di sendi lutut usai ia pulang rihlah dari salah
satu UKM, nyeri tersebut kemudian menyebar ke sendi pergelangan kaki dan
kemudian sampai ke sendi lengan hingga jari-jari tangan. Jari-jarinya sampai
bengkak. Bahkan jari-jari tangan kanan beliau pun sampai saat ini posisinya
terfiksir bengkok (fleksi). Selain nyeri, kekakuan juga mengganggu dan amat
sangat menyita perhatiannya. Kalau didiamkan alat geraknya sebentar saja, nanti
saat mulai digerakkan lagi akan terasa sangat sakit. Akhirnya, kekakuan
tersebut juga mengganggu tidurnya. Kak fifit sampai terpikir mendingan tidak
usah tidur sama sekali daripada besoknya saat ia bangun, akan merasakan
kesakitan yang sangat dahsyat saat mulai digerakkan. Terakhir, ia juga sudah
tidak punya nafsu makan sama sekali, juga berat badannya menurun. Bahkan BB nya
sempat turun hingga 29 kg pada tahun 2010.
Rahman dan Rahim nya Allah, selalu, di balik dahsyatnya cobaan
yang Allah berikan untuk hamba-hambanya, Allah ingin membentuk figure yang
tangguh untuk menerima keputusan Allah. Memang sih, kadang kita suka berpikir “Why
me Allah?”, “Kenapa harus saya?” Tapi kadang pertanyaan ini yang membawa kita
pada proses analytical thinking. Kira-kira, kenapa ya Allah ngasih ujian
ini ke kita? Pun begitu yang dialami oleh Kak Fifit. Hingga ia akhirnya
menemukan alasan yang pas mengapa ia harus menerima cobaan ini. Mungkin bisa jadi
penyakit ini yang akan menghapus dosa-dosa saya di masa dulu atau bahkan nanti
akan membuat saya naik tingkat. Lebih jauh lagi, beliau memaparkan tentang
sebuah melodi kesyukuran yang terinspirasi dari ayat-ayat yang terulang dari
surat Ar-Rahman. Kenapa sih ayat “Maka nikmat Tuhan mu yang manakah yang kamu
dustakan?” sampai terulang2 begitu banyaknya.
Akhirnya saya jadi ingat. Dulu, saat saya semester 3, saya
sering ga bersyukur sama Allah. Mulanya, saya ngga mau masuk UIN dan ingin
masuk Sekolah Tinggi Sandi Negara. Namun saya ditolak. Akhirnya saya ga
kebayang sama sekali untuk masuk UIN. Saat menjadi mahasiswa di tingkat awalan,
IP saya sempat 3,8. Tapi saya ga pernah menghiraukan. Terus saja saya masih
mengharapkan diterima di Sekolah Tinggi Sandi Negara tersebut. Sekarang saya
pun jadi mengerti kenapa Allah tidak mengizinkan saya untuk berkuliah di sana.
Saya yakin, kalau saya di sana dan akhirnya terkena penyakit ini, saya pasti
sudah di DO, karena di sana tidak ada sistem cuti seperti di sini. Alhamdulillah..
Kak Fifit pun juga merasakan dukungan yang luar biasa dari
orang-orang di sekelilingnya, disamping kekuatan internalnya yang membuatnya
selalu berpikir positif dan bertahan hingga kini. Ada ayah beliau yang akhirnya
rela cuti kerja karena harus bolak balik mengantar Kak Fifit ke dokter. Ada
ibunya, dengan ketulusan dan pengorbanannya, menjadi guru bagi spiritual dan
kejiwaannya. Kak Fifit juga bercerita tentang dahsyatnya sosok ibunya, yang
setiap malam selalu melakukan shalat tahajjud di sampingnya, mendo’akan agar
diberi petunjuk mengenai penyakit apa yang diderita kak Fifit saat belum jelas
identifikasi penyakitnya dan agar Kak Fifit diberi kekuatan dan kesabaran dalam
menghadapi penyakitnya. Ada pula guru ngaji beliau yang selalu menyemangati
untuk konsisten melakukan terapi. Teman-teman sekosannya yang rela merebuskan
air hangat dan sereh untuk mandinya, menyempatkan makan 3 kali sehari pasca Kak
Fifit sakit (padahal sebelumnya makan hanya 1-2 kali sehari), membantu
membukakan baju saat sendi2 Kak Fifit dirasa kaku dan nyeri untuk digerakkan,
mengajaknya jalan2 pagi setiap jam 5 dan masih banyak lagi. Terakhir juga peran
dari prodinya yang terus memantau, menanyakan pelajaran2 apa yang belum dikejar
saat ia cuti dari semester 3-4. Subhanallah, pertolongan Allah memang luar bisaa..
Belum lagi, Allah juga memudahkan urusan-urusan saya, tambah Kak
Fifit. Allah tidak memberikan waktu-waktu kambuh di saat ia sedang melakukan
tugas penting. Saat kambuh pertama kali misalnya, beliau sudah selesai semprop,
sudah melakukan penelitian, dan sempat menyicil skripsi sampai BAB III. Woow..
luar bisaa.. Pun saat PPTK di Januari (penulis lupa tahunnya), saat itu saya
menjalani aktivitas seperti biasa, selesai PPTK, baru kambuh lagi. Skripsi Kak
Fifit juga sudah selesai, meski ia hanya mampu mengetik dengan memaksimalkan
satu jari tangannya. Nah, buat yang merasa masih diberi nikmat memanfaatkan
sepuluh jarinya, skripsi ente udah keluar belum? Jlebb. *sindiran buat saya dan
yang ngerasa* MasyaAllah ya, luar bisaa nashrullah.. :’)
Terakhir adalah sesi Kak Fifit menyampaikan pesan untuk para
calon dokter. Pertama, Kak Fifit berpesan agar kita calon dokter bisa memberikan
diagnosis yang tepat saat pasien datang. “Apa penyakitnya, gimana
pengobatannya, apa yang harus dan tidak boleh saya makan.” Hmm.. uniknya, saya sering
mendengar istilah dokter cocok-cocokan. Misalnya nih pasien datang ke dokter A,
tapi ga sembuh. Kemudian akhirnya datang ke dokter B dan Alhamdulillah sembuh.
Berarti pasiennya cocok sama dokter B. Saya jadi bingung, sebenarnya kenapa
sampai ada istilah seperti itu. Kedua, mbok ya jadi dokter jangan sampai
kejadiannya seperti yang disaksikan oleh tetangga Kak Fifit. Saat itu tetangga
saya sedang di rumah sakit dan tiba2 ada pasien lain yang baru datang dengan
sayatan di perutnya akibat kecelakaan kerja. Tiba-tiba dokter jaga di IGD nya
bilang: “Saya harus ngapain ya?” Waduuh, dokternya aja bingung mau ngapain. Miris,
akhirnya tiba-tiba dokter IGD tersebut tanpa sedikit tindakan seenaknya
mengajukan rujuk untuk pasien yang dalam fase kritis itu. “Waduuh.. saya ga
habis piker itu. Ya mbok ditangani dulu lah darahnya yang berceceran itu.. ini
main rujuk aja tanpa dihentikan perdarahannya.” Terakhir, ya sebisa
mungkin saat memberikan keterangan sama pasiennya itu dengan bahasa yang enak,
muka yang enak. Jadi pasiennya bisa paham dan ngga bingung.
Nah, setelah sesi akhir dari Pasien, serunya lagi kita diberi arahan
dari dosen kita, dr.Ibnu,Sp.THT. Di bawah ini merupakan beberapa hal yang saya (penulis)
ingat:
1. ANALOGI DOKTER, PASIEN DAN PENYAKITNYA.
Dahulu analoginya adalah pasien diibaratkan seperti orang yang punya permasalahan
mobilnya penyok kemudian dia mengatakan kepada tukang bengkelnya seperti ini: “Pak,
ini mobil saya penyok, di sebelah kiri, rusaknya begini2, saya pengen bapak
memperbaiki mobil saya sebaik mungkin, berapa pun nanti akan saya bayar. Oke?”
Kemudian si tukang bengkel yang dianalogikan sebagai dokter mengatakan : “Oh,
baik pak nanti akan saya perbaiki sebagus mungkin, bapak siapkan saja uangnya.”
Analogi kuno ini seolah memposisikan permasalahan pasien atau penyakit ada di
tengah antara pasien dan dokter dan melupakan peran Allah sebagai penentu
keberhasilan. Sekarang, posisi yang semestinya bagi dokter dan pasien adalah sebagai
partner. Pasien dan dokter melihat masalah itu sebagai musuh yang dihadapi bersama.
Pasien mengeluhkan keluhannya, dokter mengidentifikasi penyakitnya,
mengkomunikasikan terapi apa yang diberikan dengan pertimbangan pasien dan
memberitahukan segala resiko yang mungkin terjadi. Di sini, dokter tidak
sebagai penjamin, yang bisa menjamin hidup seorang pasien. Dokter hanya bisa mengatakan,
“Pak, berdasarkan kejadian sebelumnya, bisaanya kalau dilakukan tindakan ini
hasilnya seperti ini.”
2. TIDAK SEMUA PASIEN SEBERUNTUNG KAK FIFIT.
Kalau kak Fifit, bisa sepositive itu pikirannya karena ada factor internal
dirinya dan eksternal dari orang2 di sekitarnya. Nah, di luar sana, banyak
pasien yang tidak punya dukungan dari keluarganya. Dokter Ibnu pun sering
menemukan kejadian saat pertama kali pasien datang ia masih ditemani
suami,istri atau pihak keluarga lainnya tapi beberapa kesempatan setelah itu ia
datang sendiri tanpa keluarganya. Saat ditanya, mana keluarganya pak? Istri
saya sudah pergi dok, sejak tahu saya kanker. Karenanya, kita harus bersikap
terbuka kepada pasien agar bisa mengurangi beban pasien. Jangan salah loh,
Textbook terbaik kalian itu adalah pasien. Jangan pernah membatasi pasien untuk
bercerita. Biarkan pasien secara tidak langsung menceritakan diagnosisnya
kepada kalian. Jika kalian membatasi, berarti kalian menghalangi diagnosis
pasien.
3. TERKAIT SHOPPING DOCTOR. Nah, di awal Kak Fifit
sudah menceritakan bagaimana dia beralih dari dokter yang satu ke dokter yang
lainnya. Kalian mau pilih yang mana? Tanya dokter Ibnu. Tentunya kalian akan
memilih menjadi dokter yang pertama dan terakhir kan bagi pasiennya? Untuk
mencapai itu, kalian harus Empowering Yourself. Miliki kemampuan mendiagnosa
penyakit yang dialami pasien. Kemudian komunikasikan dengan bahasa yang mudah
dimengerti, jangan gunakan istilah medis. Apa pentingnya dianggap hebat tapi
pasiennya ga ngerti apa yang kalian bicarakan.
Naah… sekian dari saya. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat
terutama buat temen2 yang ga bisa ikutan langsung acaranya. Maaf juga, kalau
dalam penulisan bahasanya saya ubah2 dan ngga sesuai aslinya.
0 komentar:
Post a Comment