Thursday, November 20, 2014

OASIS

.com/blogger_img_proxy/

Tulisan kali ini saya beri nama sesuai nama kegiatan IMDB (integrated moslem docter and biomedic): OASIS, salah satu kegiatan yang sampai saat ini membuat saya bersyukur masuk fakultas kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Alhamdulillah, saya bangga menjadi mahasiswa kedokteran UIN karena kita benar2 diajarkan secara khusus dan langsung mengenai aspek2 non medis seperti nilai2 keislaman dan juga empati. Semoga di kemudian hari apa yang saya dan teman-teman terima bisa diaplikasikan dengan baik.

Kegiatan ini, menurut saya menimbulkan kesan yang dalam karena kita bisa menggaet hikmah untuk berempati, merasakan apa yang dirasakan pasien dan juga mendapatkan feedback positif yang menyadarkan dan mengingatkan lagi para calon dokter dengan tamparan yang keras: “eh, lu itu mau jadi dokter. Udah siap belom kalau ntar ada pasien lu yang dating buat lu kasih tau itu penyakitnya apa dan apa yang bakal lu lakuin?” Semoga bisa jadi inspirasi untuk teman2 di fakultas kedokteran lain untuk mengadakan kegiatan serupa. Recommended lah..! Coba aja diusulin ke dosen2 di FK masing2. (*emang lu piker gampang?)

Tulisan ini saya tulis dengan harapan besar saya adalah saya ingin apa yang saya terima hari ini bisa diketahui oleh teman2 saya para calon dokter di luar UIN. Baca ampe akhir ya mbak, mas yang mau jadi dokter ;D

Agenda oasis kali ini menghadirkan Kak Fifit (bukan nama sebenarnya), mahasiswi UIN jurusan pendidikan kimia FITK. Usianya 23 tahun dan saat ini menrupakan mahasiswi semester 11. Suatu hal yang sempat mengherankan memang, dibalik usia beliau yang semestinya sudah lulus. Tapi tentu kita akhirnya berpikir lagi karena beliau salah satu pasien yang akan diundang, maka penyakitlah yang mungkin menjadi alasan bagi kami untuk menarik prasangka buruk kami tentangnya.

Kisah Kak Fifit dan penyakit yang ia jalani, kadang membuat kita tak habis pikir. Beliau masih muda, namun menderita penyakit Rheumatoid Artritis, salah satu tipe penyakit autoimun (imun yang semestinya melindungi tubuh, menyerang balik). Kini beratnya hanya 33 kg. Sungguh berat yang tidak masuk akal untuk seorang mahasiswa seusianya.

Keluhan awal yang beliau rasakan adalah nyeri di bagian belakang lutut sebelah kanan tahun 2010 yang lalu, kesannya seperti keseleo, tambah kak Fifit memberi pemaparan. “Makanya, saat itu yang saya datangi pertama kali adalah tukang pijit. Mungkin setelah dipijit, bisa baikan.”Sayangnya, setelah dipijit, tidak ada perubahan, akhirnya barulah beliau ditemani orang tuanya pergi ke dokter. Mendatangi dokter pertama, ia disarankan untuk menambal giginya, kalau-kalau ada yang bolong mungkin bias mempengaruhi nyeri lutut yang ia rasakan. Kak Fifit pun kemudian mendatangi dokter gigi, memeriksakan giginya yang ternyata memang ada yang bolong dan menambalnya. Usai di tambal, tidak ada perubahan. Nyeri masih terasa.

Belum puas karena keluhan masih dirasakan dan penyakit yang dialami pun belum jelas, beliau datang ke dokter B, sebagai dokter kedua. Kali ini kasusnya beliau diminta untuk cek lab dan dinyatakan terkena asam urat. Selanjutnya beliau sambangi dokter yang ketiga, tak jauh berbeda, beliau diminta untuk melakukan cek lab kembali dan akhirnya dinyatakan terkena rematik. Akhirnya, pada saat beliau datang ke dokter ke empat, penyakit beliau bisa diidentifikasi. Kebetulan sekali, Kak Fifit adalah pasien ke empat yang mengalami Rheumatoid Artritis dari dokter terakhir yang menanganinya. Sebut saja dokter Wahyu. Salah satu dokter teladan juga yang patut dicontoh keprofesionalitasannya kepada pasien, baik dalam hal komunikasinya maupun penanganannya. Dokter tersebutlah yang akhirnya menangani Kak Fifit sampai saat ini.

Hal yang menyedihkan yang dialami Kak Fifit adalah keluhan nyeri yang sangat dahsyat dirasakan di sendi lutut usai ia pulang rihlah dari salah satu UKM, nyeri tersebut kemudian menyebar ke sendi pergelangan kaki dan kemudian sampai ke sendi lengan hingga jari-jari tangan. Jari-jarinya sampai bengkak. Bahkan jari-jari tangan kanan beliau pun sampai saat ini posisinya terfiksir bengkok (fleksi). Selain nyeri, kekakuan juga mengganggu dan amat sangat menyita perhatiannya. Kalau didiamkan alat geraknya sebentar saja, nanti saat mulai digerakkan lagi akan terasa sangat sakit. Akhirnya, kekakuan tersebut juga mengganggu tidurnya. Kak fifit sampai terpikir mendingan tidak usah tidur sama sekali daripada besoknya saat ia bangun, akan merasakan kesakitan yang sangat dahsyat saat mulai digerakkan. Terakhir, ia juga sudah tidak punya nafsu makan sama sekali, juga berat badannya menurun. Bahkan BB nya sempat turun hingga 29 kg pada tahun 2010.

Rahman dan Rahim nya Allah, selalu, di balik dahsyatnya cobaan yang Allah berikan untuk hamba-hambanya, Allah ingin membentuk figure yang tangguh untuk menerima keputusan Allah. Memang sih, kadang kita suka berpikir “Why me Allah?”, “Kenapa harus saya?” Tapi kadang pertanyaan ini yang membawa kita pada proses analytical thinking. Kira-kira, kenapa ya Allah ngasih ujian ini ke kita? Pun begitu yang dialami oleh Kak Fifit. Hingga ia akhirnya menemukan alasan yang pas mengapa ia harus menerima cobaan ini. Mungkin bisa jadi penyakit ini yang akan menghapus dosa-dosa saya di masa dulu atau bahkan nanti akan membuat saya naik tingkat. Lebih jauh lagi, beliau memaparkan tentang sebuah melodi kesyukuran yang terinspirasi dari ayat-ayat yang terulang dari surat Ar-Rahman. Kenapa sih ayat “Maka nikmat Tuhan mu yang manakah yang kamu dustakan?” sampai terulang2 begitu banyaknya.

Akhirnya saya jadi ingat. Dulu, saat saya semester 3, saya sering ga bersyukur sama Allah. Mulanya, saya ngga mau masuk UIN dan ingin masuk Sekolah Tinggi Sandi Negara. Namun saya ditolak. Akhirnya saya ga kebayang sama sekali untuk masuk UIN. Saat menjadi mahasiswa di tingkat awalan, IP saya sempat 3,8. Tapi saya ga pernah menghiraukan. Terus saja saya masih mengharapkan diterima di Sekolah Tinggi Sandi Negara tersebut. Sekarang saya pun jadi mengerti kenapa Allah tidak mengizinkan saya untuk berkuliah di sana. Saya yakin, kalau saya di sana dan akhirnya terkena penyakit ini, saya pasti sudah di DO, karena di sana tidak ada sistem cuti seperti di sini. Alhamdulillah..

Kak Fifit pun juga merasakan dukungan yang luar biasa dari orang-orang di sekelilingnya, disamping kekuatan internalnya yang membuatnya selalu berpikir positif dan bertahan hingga kini. Ada ayah beliau yang akhirnya rela cuti kerja karena harus bolak balik mengantar Kak Fifit ke dokter. Ada ibunya, dengan ketulusan dan pengorbanannya, menjadi guru bagi spiritual dan kejiwaannya. Kak Fifit juga bercerita tentang dahsyatnya sosok ibunya, yang setiap malam selalu melakukan shalat tahajjud di sampingnya, mendo’akan agar diberi petunjuk mengenai penyakit apa yang diderita kak Fifit saat belum jelas identifikasi penyakitnya dan agar Kak Fifit diberi kekuatan dan kesabaran dalam menghadapi penyakitnya. Ada pula guru ngaji beliau yang selalu menyemangati untuk konsisten melakukan terapi. Teman-teman sekosannya yang rela merebuskan air hangat dan sereh untuk mandinya, menyempatkan makan 3 kali sehari pasca Kak Fifit sakit (padahal sebelumnya makan hanya 1-2 kali sehari), membantu membukakan baju saat sendi2 Kak Fifit dirasa kaku dan nyeri untuk digerakkan, mengajaknya jalan2 pagi setiap jam 5 dan masih banyak lagi. Terakhir juga peran dari prodinya yang terus memantau, menanyakan pelajaran2 apa yang belum dikejar saat ia cuti dari semester 3-4. Subhanallah, pertolongan Allah memang luar bisaa..

Belum lagi, Allah juga memudahkan urusan-urusan saya, tambah Kak Fifit. Allah tidak memberikan waktu-waktu kambuh di saat ia sedang melakukan tugas penting. Saat kambuh pertama kali misalnya, beliau sudah selesai semprop, sudah melakukan penelitian, dan sempat menyicil skripsi sampai BAB III. Woow.. luar bisaa.. Pun saat PPTK di Januari (penulis lupa tahunnya), saat itu saya menjalani aktivitas seperti biasa, selesai PPTK, baru kambuh lagi. Skripsi Kak Fifit juga sudah selesai, meski ia hanya mampu mengetik dengan memaksimalkan satu jari tangannya. Nah, buat yang merasa masih diberi nikmat memanfaatkan sepuluh jarinya, skripsi ente udah keluar belum? Jlebb. *sindiran buat saya dan yang ngerasa* MasyaAllah ya, luar bisaa nashrullah.. :’)

Terakhir adalah sesi Kak Fifit menyampaikan pesan untuk para calon dokter. Pertama, Kak Fifit berpesan agar kita calon dokter bisa memberikan diagnosis yang tepat saat pasien datang. “Apa penyakitnya, gimana pengobatannya, apa yang harus dan tidak boleh saya makan.” Hmm.. uniknya, saya sering mendengar istilah dokter cocok-cocokan. Misalnya nih pasien datang ke dokter A, tapi ga sembuh. Kemudian akhirnya datang ke dokter B dan Alhamdulillah sembuh. Berarti pasiennya cocok sama dokter B. Saya jadi bingung, sebenarnya kenapa sampai ada istilah seperti itu. Kedua, mbok ya jadi dokter jangan sampai kejadiannya seperti yang disaksikan oleh tetangga Kak Fifit. Saat itu tetangga saya sedang di rumah sakit dan tiba2 ada pasien lain yang baru datang dengan sayatan di perutnya akibat kecelakaan kerja. Tiba-tiba dokter jaga di IGD nya bilang: “Saya harus ngapain ya?” Waduuh, dokternya aja bingung mau ngapain. Miris, akhirnya tiba-tiba dokter IGD tersebut tanpa sedikit tindakan seenaknya mengajukan rujuk untuk pasien yang dalam fase kritis itu. “Waduuh.. saya ga habis piker itu. Ya mbok ditangani dulu lah darahnya yang berceceran itu.. ini main rujuk aja tanpa dihentikan perdarahannya.” Terakhir, ya sebisa mungkin saat memberikan keterangan sama pasiennya itu dengan bahasa yang enak, muka yang enak. Jadi pasiennya bisa paham dan ngga bingung.

Nah, setelah sesi akhir dari Pasien, serunya lagi kita diberi arahan dari dosen kita, dr.Ibnu,Sp.THT. Di bawah ini merupakan beberapa hal yang saya (penulis) ingat:

1.     ANALOGI DOKTER, PASIEN DAN PENYAKITNYA. Dahulu analoginya adalah pasien diibaratkan seperti orang yang punya permasalahan mobilnya penyok kemudian dia mengatakan kepada tukang bengkelnya seperti ini: “Pak, ini mobil saya penyok, di sebelah kiri, rusaknya begini2, saya pengen bapak memperbaiki mobil saya sebaik mungkin, berapa pun nanti akan saya bayar. Oke?” Kemudian si tukang bengkel yang dianalogikan sebagai dokter mengatakan : “Oh, baik pak nanti akan saya perbaiki sebagus mungkin, bapak siapkan saja uangnya.” Analogi kuno ini seolah memposisikan permasalahan pasien atau penyakit ada di tengah antara pasien dan dokter dan melupakan peran Allah sebagai penentu keberhasilan. Sekarang, posisi yang semestinya bagi dokter dan pasien adalah sebagai partner. Pasien dan dokter melihat masalah itu sebagai musuh yang dihadapi bersama. Pasien mengeluhkan keluhannya, dokter mengidentifikasi penyakitnya, mengkomunikasikan terapi apa yang diberikan dengan pertimbangan pasien dan memberitahukan segala resiko yang mungkin terjadi. Di sini, dokter tidak sebagai penjamin, yang bisa menjamin hidup seorang pasien. Dokter hanya bisa mengatakan, “Pak, berdasarkan kejadian sebelumnya, bisaanya kalau dilakukan tindakan ini hasilnya seperti ini.”

2.     TIDAK SEMUA PASIEN SEBERUNTUNG KAK FIFIT. Kalau kak Fifit, bisa sepositive itu pikirannya karena ada factor internal dirinya dan eksternal dari orang2 di sekitarnya. Nah, di luar sana, banyak pasien yang tidak punya dukungan dari keluarganya. Dokter Ibnu pun sering menemukan kejadian saat pertama kali pasien datang ia masih ditemani suami,istri atau pihak keluarga lainnya tapi beberapa kesempatan setelah itu ia datang sendiri tanpa keluarganya. Saat ditanya, mana keluarganya pak? Istri saya sudah pergi dok, sejak tahu saya kanker. Karenanya, kita harus bersikap terbuka kepada pasien agar bisa mengurangi beban pasien. Jangan salah loh, Textbook terbaik kalian itu adalah pasien. Jangan pernah membatasi pasien untuk bercerita. Biarkan pasien secara tidak langsung menceritakan diagnosisnya kepada kalian. Jika kalian membatasi, berarti kalian menghalangi diagnosis pasien.

3.     TERKAIT SHOPPING DOCTOR. Nah, di awal Kak Fifit sudah menceritakan bagaimana dia beralih dari dokter yang satu ke dokter yang lainnya. Kalian mau pilih yang mana? Tanya dokter Ibnu. Tentunya kalian akan memilih menjadi dokter yang pertama dan terakhir kan bagi pasiennya? Untuk mencapai itu, kalian harus Empowering Yourself. Miliki kemampuan mendiagnosa penyakit yang dialami pasien. Kemudian komunikasikan dengan bahasa yang mudah dimengerti, jangan gunakan istilah medis. Apa pentingnya dianggap hebat tapi pasiennya ga ngerti apa yang kalian bicarakan.

Naah… sekian dari saya. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat terutama buat temen2 yang ga bisa ikutan langsung acaranya. Maaf juga, kalau dalam penulisan bahasanya saya ubah2 dan ngga sesuai aslinya.



0 komentar:

Copyright © 2014 Mahdiah Maimunah